Asal Usul
Berdasarkan Kelisanan
Ada berbagai versi tentang asal-usul orang Kubu. Versi pertama mengatakan bahwa mereka berasal dari Sumatera Barat. Konon, mereka adalah orang-orang yang tidak mau dijajah oleh Belanda. Untuk itu, mereka masuk ke hutan dan mengembara sampai akhirnya ada di daerah Jambi.
Versi kedua mengatakan
bahwa mereka adalah tentara yang tersesat. Konon, pada zaman Kerajaan
Jambi diperintah oleh Putri Selaras Pinang Masak, kerajaan diserang oleh
Orang Kayo Hitam yang menguasai Ujung Jabung (Selat Berhala). Serangan
itu membuat Jambi kewalahan. Untuk itu, Ratu Jambi yang notabene adalah
keturunan Kerajaan Minangkabau mohon bantuan kepada Raja Pagaruyung.
Dan, Sang Raja memperkenankan permohonannya dengan mengirimkan pasukan
ke Jambi melalui jalan darat (menyusuri hutan belantara). Suatu saat
ketika sampai di Bukit Duabelas mereka kehabisan bekal, padahal sudah
jauh dari Pagaruyung dan masih jauh dari Jambi. Kemudian, mereka
bermusyawarah dan hasilnya kesepakatan untuk tetap tinggal di tempat
tersebut, dengan pertimbangan jika kembali ke Pagaruyung disamping malu
juga bukan hal yang mustahil akan dihukum oleh rajanya. Sementara itu,
jika meneruskan perjalanan ke Jambi disamping masih jauh juga bekal
tidak ada lagi. Kemudian, mereka bersumpah untuk tetap tinggal di tempat
itu dengan ketentuan siapa saja melanggarnya akan terkutuk dan hidupnya
sengsara. Sumpah itu adalah sebagai berikut:
“Ke
mudik dikutuk Rajo Minangkabau, ke hilir kena kutuk Rajo Jambi, ke atas
tidak berpucuk, di tengah-tengah dimakan kumbang, kebawah tidak
berurat, ditimpo kayu punggur” (Kembali ke Minangkabau dikutuk Raja
Minangkabau, ke hilir dikutuk Raja Jambi, ke atas tidak berpucuk, di
tengah-tengah dimakan, kumbang, ke bawah tidak berakar, ditimpa kayu
lapuk).
Para
tentara Pagaruyung yang membawa isteri dan tersest di Bukit Duabelas
itulah yang kemudian menurunkan orang Kubu. Terpilihnya bukit ini sangat
beralasan karena di sana banyak batu-batu besar yang sekaligus dapat
dimanfaatkan sebagai benteng. Selain itu, di sana asa sumber air dan
sungai-sungai kecil yang menyediakan berbagai jenis ikan yang sangat
dibutuhkan dalam keberlangsungan hidup mereka.
Versi
ketiga mengatakan bahwa orang Kubu adalah keturunan Bujang Perantau dan
Puteri Buah Gelumpang. Konon, pada zaman dahulu ada seorang perantau
laki-laki yang bernama Bujang Perantau. Ketika perantau itu sampai di
Bukit Duabelas, suatu malam ia bermimpi. Di dalam mimpinya ia disuruh
agar mengambil buah gelumpang, kemudian buah itu dibungkus dengan kain
putih. Jika itu dilakukan maka akan timbul keajaiban. Begitu bangun, ia
langsung melakukannya. Buah gelumpang yang dibungkus dengan kain putih
itu menjelma menjadi seorang puteri yang sangat cantik (Puteri Buah
Gelumpang). Setelah besar, Sang Puteri mengajak kawin. Akan tetapi,
Bujang Perantau menjawab bahwa tidak ada orang yang mau mengawinkan.
Mendengar jawaban itu Sang Puteri menyarankan agar Bujang Perantau
menebang pohon bayur kemudian dikupas agar licin dan dilintangkan di
sungai. Bujang Perantau disuruhnya meniti dari salah satu ujung
batangnya. Sementara, Puteri Buah Gelum-pang meniti dari ujung yang
satunya lagi. Jika di tengah titian tersebut mereka bertemu dan beradu
kening, maka itu berarti syah menjadi suami-isteri. Dan, ternyata mereka
dapat melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, mereka syah menjadi
suami-isteri. Perkawinan mereka membuahkan 4 orang anak, yaitu Bujang
Malangi, Bujang Dewo, Puteri Gading, dan Puteri Selaro Pinang Masak.
Anak pertama disebut pangkal waris dan anak terakhir disebut ujung
waris.
Alkisah,
Bujang Malapangi dan Puteri Selaro Pinang Masak keluar hutan dan
mendirikan kampung. Dan, ini berarti mengikuti jejak ayahnya sebagai
orang terang. Sementara itu, Bujang Dewo dan Puteri Gading tetap berada
di hutan mengikuti jejak ibunya sebagai Orang Rimbo. Perpisahan kedua
kelompok saudara ini menimbulkan perselisihan, tetapi masing-masing
tetap mengakui sebagai kerabat. Untuk itu, perlu dibedakan antara yang
berkampung dengan yang tetap di hutan dengan persumpahan. Sumpah Bujang
Malapangi yang ditujukan kepada Bujang Dewo adalah sebagai berikut:
“Yang
tidak menyam-but arah perintah diri waris dusun, bilo waris menemui di
rimbo dilancungkan dengan maka seperti babi, biawak, tenuk, dan ular
sawa; keno kutuk ayak pertuanan, keno sumpah seluruh Jambi ….”. Artinya
dari sumpah ini ialah bahwa orang Rimbo itu adalah orang yang tidak mau
nurut saudara tua (pangkal waris), bila saudara tua menemuinya di hutan
disuguhi babi, benuk, biawak, dan ular (semua binatang ini, orang terang
dilarang memakannya); bakal dimarahi seluruh orang Jambi.
Sumpah Bujang Dewo ditujukan kepada Bujang Malapangi yang sudah menjadi orang Terang:
”Di
air ditangkap buaya, di darat ditangkap harimau kumbang, d-itimpo kayu
punggur, ke atas dikutuk pisau kawi, ke bawah keno masrum kalimah Allah,
di arak kabangiyang, ditimpo langit berbelang, ke atas tidak berpucuk,
ke bawah tidak berakar, …. dan orang yang berkampung itu adalah:
“berpadang pinang, berpadang kelapo, dislamkan, rapat dilur rencong di
dalam, bersuruk budi bertanam akal, berdaging dua, bergantang dua,
bercupak dua”. Arti dari sumpah itu ialah bahwa orang yang berkampung
itu adalah orang yang celaka ibarat orang yang kemanapun celaka, ke air
dimakan buaya, ke darat dimakan harimau, ditimpa kayu punggur, dikutuk
oleh senjata keramat, terkena laknat kalimah Allah, selalu diikuti
setan, tertimpa langit di sore hari, tidak punya atasan dan tidak punya
bawahan; adapun tandanya adalah: menanam pinang, kelapa, dislamkan; baik
di luar busuk di dalam, tidak berbudi dan mengakali orang, berpedoman
dua/tidak punya pendirian.
Walaupun
demikian, ada semacam kesepakatan bahwa Bujang Malapangi dan
keturunannya tetap dianggap pangkal waris dan berkedudukan di desa,
sedangkan yang tetap tinggal di hutan dapat terus mempertahankan adat
nenek moyang (Bujang Perantau dengan Putri Buah Gelumpang).
Versi
keempat menceriterakan bahwa, konon pada masa lalu pantai Pulau
Sumatera sering didatangi para bajak laut. Mereka biasanya datang
bersama isteri dan anaknya. Suatu saat seorang anak lelakinya diketahui
berhubungan intim dengan adik perempuannya. Padahal, hubungan seperti
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh mereka. Oleh karena itu,
kedua insan yang berbeda jenis kelaminnya itu dikenakan sanksi berupa
pengucilan, yaitu ditinggalkan atau dibiarkan hidup berdua di hutan.
Bahkan, bukan hanya itu; mereka tidak diperbolehkan untuk
memper-lihatkan diri kepada orang lain. Di sanalah mereka akhirnya
beranak-pinak kemudian mendirikan suatu perkampungan di daerah Ulu
Kepayang, dekat Dusun Penamping yang terletak di pinggir sungai Lalan
(sekarang termasuk dalam wilayah Propinsi Sumatera Selatan). Konon,
inilah perkampungan pertama mereka.
Tampaknya
perlu diketahui juga bahwa orang Kubu banyak yang berpindah ke Tanjung
Semiring; tepatnya di tepi sungai Lalan, di hilir Dusun Karang Agung. Di
daerah tersebut ada seorang yang bernama Temenggung. Orang itu kemudian
diangkat sebagai kepala suku. Oleh karena itu, kepala Orang Kubu
disebut sebagai temenggung. Mereka yang berada di daerah ini disebut
dengan nama lebar Telapak, karena ciri fisik mereka yaitu dengan bentuk
kaki yang lebar terutama kaum laki-lakinya. Dari Tumenggung yang berasal
dari Blidah, Dusun Cambai dengan istrinya yang bernama Polot dari marga
betung di daerah Banyuasin, Dusun Gemuruh, mereka memperoleh 6 (enam)
orang anak laki-laki yang setiap orangnya mempunyai sifat dan keahlian
yang dimiliki oleh masyarakat Kubu, yakni: 1) sejaring pandai dalam hal
menangkap ikan atau menjala ikan, 2) semincan atau semancam adalah sifat
pengancam atau sifat pemberani, 3) semobah atau perobah adalah sifat
yang senang berpindah-pindah/pemindah, 4) sebauk adalah ciri orang yang
dihormati biasanya orang yang berjanggut atau berdagu ganda, 5)
senanding adalah sifat pedagang, 6) semubung adalah sifat pendukung atau
bekerjasama atau perantara. Nama-nama tersebut di atas juga dikenakan
oleh Temenggung sendiri, dengan harapan seorang Tumenggung akan memiliki
atau mempunyai keenak sifat dan keahlian tadi. Sifat yang paling
menonjol bagi seorang Temengung adalah senang mengem-bara,
berpindah-pindah tempat bersama istri dan anak-anaknya. Seperti halnya
perpindahan mereka ke teluk Sendawar di tepi sungai Lalan, antara daerah
Bayung Lincir dan Muara Bahar. Di tempat ini pun mereka tidak bertahan
lama, mereka berpindah lagi ke daerah Rambahan di tepi sungai ke arah
hulu Muara Bahar. Di daerah ini mereka menetap agal lama, sampai mereka
beranak-pinak. Setelah itu Temenggung beserta istrinya scara tiba-tiba
menghilang dan tidak pernah kembali lagi, menurut kepercayaan masyarakat
suku Anak Dalam temenggung dan istrinya tidak meninggal dunia. Setelah
ditinggal pergi Temenggung dan istrinya, seluruh keturunan mereka
mengadakan pertemuan atau mu-syawarah di Muara Bahar. Mereka
berkeinginan untuk memisahkan diri, masing-masing ingin mencari tempat
tinggal sendiri-sendiri, oleh karena itulah nama Muara Bahar juga
dikenal dengan nama Muara Lebaran yakni tempat dimana mereka mulai
berpencar, berpisah. Tetapi ada juga masyarakat Kubu yang tetap tinggal
di ulu Kepayang, tidak ikut dalam perpindahan tetapi menetap di sekitar
dusun penamping (daerah sekitar Muara Bahar).
Mereka
sangat jarang menceritakan asal usul, keturunan atau atau silsilah
mereka, karena mereka tahu dan merasa bahwa mereka merupakan keturunan
dari hasil perbuatan sumbang (incest). Disamping dianggap kurang sopan
juga merupakan aib atau noda bagi diri mereka sendiri. Untuk menyebutkan
nama orang tuanya pun mereka merasa cemas, karena mereka takut akan
mendapatkan malapetaka, mendatangkan pengaruh jahat. Apalagi menyebutkan
cikal bakal mereka yang melakukan zinah. Oleh sebab itu mereka lebih
senang mengatakan bahwa cikal bakal mereka berasal dari Temenggung dan
Polot. Dari keturunan Temenggung dari sebagian pergi ke Nyarang yakni
sebuah sungai kecil di sebelah hilir dusun bakung. Sebagian lagi pergi
ke arah hulu sungai Bahar, sebagian lain menetap di sepanjang sungai
Bayat dan mendirikan perkampungan Kelapa Sebatang. Dinamakan kampung
Kelapa Sebatang karena orang kubu disitu telah menanam sebatang pohon
kelapa sebagai hiasan. Namun, buah kelapa yang telah dihasilkan dari
pohon tersebut, tidak ada yang berani mengambil dan memakannya, karena
menurut anggapan mereka sesuatu yang ditanam atau dipelihara apabila
dimakan akan membuat mereka jatuh sakit. Suatu ketika ada orang luar
yang datang ke perkampungan mereka dan bertanya mengapa buah kelapa
tersebut tidak dimanfaatkan atau dimakan, orang Kubu menjawab bahwa buah
kelapa bisa membuat orang mabuk dan tidak baik. Oleh orang luar tadi
diberitahukan bahwa air kelapa manis rasanya dan dagingnya enak, orang
tersebut mengambil sebutir kelapa dan mengupasnya serta meminum air
serta memakan daging-nya. Setelah melihat bahwa memang tidak berakibat
apa-apa, maka orang-orang Kubu pun baru percaya bahwa air kelapa dan
daing kelapa ternyata bermanfaat bagi manusia. Setelah kedatngan orang
luar tadi, mereka berpindah tempat lagi dan mendirikan perkampungan baru
yang terletak di antara daerah Lubuk Malang dan Laman Petai, mereka
menamakan kampung tersebut dengan nama Kelapa Banyak, karena mereka
mulai menanami daerah tersebut dengan pohon-pohon kelapa. Demikianlah
sampai akhirnya perpindahan masyarakat Kubu sampai ke daerah Jambi
sekarang ini.
Versi
kelima mengatakan bahwa masyarakat Suku Anak Dalam atau Kubu adalah
orang-orang dari kerajaan Sriwijaya. Pada saat Sriwijaya mengalami
keruntuhan karena serangan kerajaan Cola (India), orang-orang Sriwijaya
yang tidak mau tunduk di bawah kekuasaan asing tadi melarikan diri ke
hutan, sehingga mereka akhirnya dikenal sebagai orang Kubu seperti saat
sekarang ini.
Berdasarkan Literatur
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid.
Ras Paleo-Mongolid atau Melayu Tua merupakan asal-usul bangsa Melayu yang paling banyak ditemui di Indonesia yang oleh Von Eickstedt digolongan atau dike-lompokan lagi dalam istilah Proto Melayu dan Deustero Melayu. Salah satu unsur dari sisa ras tersebut yang dapat dijumpai di Indonesia adalah yang disebut dengan nama Weddid atau Weddoid. Nama tersebut berasal dari nama bangsa Wedda yang hidup di Sri langka, dengan ciri-ciri fisik antara lain rambut berombak tegang atau kaku, dan lengkung alis yang agak menjorok ke depan. Di Indonesia tipe itu terutama dijumpai di semenanjung barat daya Sulawesi (daerah Toala, Tomuna, dan tokea), di Sumatera Selatan dan Jambi, yakni suku Kubu, semua itu masuk dalam golongan Proto-Melayu mempunyai ciri-ciri fisik antara lain badan agak tinggi dibandingkan dengan kelompok yang pertama, ramping, bundar wajahnya, bibir tebal, hidung lebar dan pesek, rambut kejur hitam, dan wajah mirip raut wajah Mongol seperti tulang pipi menonjol dan mata sipit. Golongan pertama dianggap yang mula-mula datang ke nusantara, kemudian didesak atau terdesak oleh golongan yang kedua ke pedalaman. Proto-Melayu dianggap sebagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai kelompok yang lebih murni, sedangkan Deutero-Melayu telah mengalami berbagai pengaruh atau campuran dengan sukubangsa di pesisir. Ini artinya bahwa Orang Kubu termasuk dalam Paleo-Mongoloid.
Sumber:
Galba, Sindu. 2002. “Manusia dan Kebudayaan Kubu” (Nasakah Laporan Hasil Penelitian)
Melalatoa, J. 1995. Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jilid A–K. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar