Ditemani sinar matahari senja dan diantara kepul asap rokok, telinga saya terkesima oleh setiap bait ucapan yang dilontarkan Pak Bujang, pemimpin kelompok orang rimba itu. “kami tahu PT itu punya hak untuk mengolah hutan karena merak sudah ada izin dari pemerintah. Hanya kami minta pembagian yang jelas saja, di bagian mana yang bisa tetap untuk penghidupan kami. Sudah ada yang datang dan menjanjikan kalau perusahaan telah menyisakan lebih kurang dua ribu hektar untuk suku anak dalam, namun belum ada kejelasan tentang ini. Kami lahir dan besar disini. Ketika hutan masih luas kami terbiasa berpindah-pindah ke bagian hutan yang lain. Namun kini, hutan telah semakin sedikit. Kami bisa belajar untuk hidup menetap di satu tempat, tapi dengan syarat masih ada kawasan hutan tempat kami untuk mandau: mencari jernang, berburu bari dan labi-labi, memanfaatkan apa yang hutan sediakan..”
Saya tertegun. Bahkan ketika kebudayaan mereka yang hidup berpindah tempat musti hilang berganti hidup menetap, bahkan ketika kawasan hutan yang dulu mereka rajai kini telah hilang, dan bahkan ketika keberadaan mereka terhimpit oleh konsumsi berlebihan masyarakat perkotaan , mereka, masyarakat suku anak dalam, penghuni dan penjaga hutan di sumatra, tetap dengan kebijksanaan mereka, tetap dengan penghormatan mereka terhadap hak orang lain. Bahwa hutan dan segala isinya bukanlah milik seseorang atau satu kelompok, tapi hutan adalah milik bersama yang seharusnya dibagi.
Masyarakat suku anak dalam siap untuk menerima keberadaan kita. Mereka siap untuk berbagi dengan kita. Akankah kita punya niatan yang sama dengan mereka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar